Salah satu motif truntum. Sumber: Wikimedia/Bagus Priyambada |
Ungu menunggu di kamar kalbu, jingga
singgah menelikung wajah, garis lengkung
mengalir tawa gadis kampung
Malam beku, canting mematri layu pendar
lintang di langit kuyu
Rinduku bergelut sepi dan kepulanganmu
pagi ini, di sebalik harem putih yang sunyi
Berulang, kuteduh pandang sebagai bakti
tak ingin kugores luka di wajahmu walau setitik
meski dari rahim kerontang
menunggu orok tak kunjung datang
Tegaplah kanda, ambil dia yang terpilih
untuk kau sanding tanpa ku menjadi tersisih
tak akan kuanggap ia lawan tanding
apalagi pesaing dari negeri asing
Kedatangannya adalah penawar dahaga
cinta kita sejak awal bersua, biarlah anak-anak
lahir dari rahimnya agar cerita negeri ini terus berjejak
Usah kau resah dengan mataku yang memerah
tetes air ini adalah laku pasrah usai tetirah
menjalani takdir Sang Maha Mirah
kiranya kita diberi berkah
Lihatlah kanda, lihatlah
telah kulabuh segala gundah
dalam kain hitam bertabur bintang, terang meski tanpa bulan
kusemat garuda di antaranya
tuk kepakkan sayap menerjang rintang
Pergilah kanda, pergilah
aku truntum, permaisuri agung, memangku titah raja
Bantul, Mei 2016
Catatan:
Puisi ini merupakan pemenang pertama lomba puisi pada Festival Sastra Universitas Gadjah Mada tahun 2016.
Thanks for reading Puisi: Truntum | Tags: Puisi
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Puisi: Truntum
Posting Komentar