Oleh Rohmat Bekti Nugroho
TIBA-TIBA langkahku terhenti. Bau kemenyan yang mulai mengusik dua lubang hidungku, semakin menimbulkan tanya dalam hati. Sudah hampir satu jam lebih aku menyusuri setapak ini. Tapi kenapa aku kembali lagi ke titik yang sama, sebuah gapura bertuliskan “Sugeng Rawuh di Desa Umbultirto” membuatku serasa ingin menyerah saja.
Entah sudah sampai mana teman-temanku yang lain. Aku mulai terpisah, hanya dalam hitungan detik saja, ketika aku melihat sesosok nenek tua. Rambut putihnya disanggul ke atas, dengan pakaian kebaya dan jarik berwarna coklat tua bermotif burung merak. Terlihat jelas sekali olehku, tatkala sorot lampu senter kuarahkan padanya. Dia tampak berjalan terburu. Intuisi menggerakkanku untuk mengikutinya.
Namun lagi-lagi aku terhenti di depan gapura ini, untuk yang kesepuluh kalinya. Dan tak kutemui seorang pun di sepanjang setapak yang kulewati. Aku heran, kanan kiri hanya ada tanaman kamboja yang bunganya berwarna-warni dengan aroma khasnya yang menusuk hidungku. Rembulan tak terlihat mengintip sedikit pun dari balik awan gelap. Bintang yang bertebaran juga malu menunjukkan kelipnya. Angin malam yang menusuk-nusuk lubang pori tubuhku semakin menimbulkan suasana mistis yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Kami awalnya berlima, sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di sebuah desa, di lereng pegunungan deretan geopark Gunungkidul, Yogyakarta. Aku sendiri, adalah seorang yang jarang sekali berkeliaran malam hari. Kondisi fisikku yang tidak sebugar yang lain, membuatku sering diejek sebagai pemuda yang tak diharapkan pemudi.
“Nak, apa yang kamu cari di tempat ini?” Pertanyan yang terdengar mendadak, dengan suara sendu, berasal dari belakang telingaku.
Bulu kudukku mulai berdiri, kakiku gemetaran, dan aku menoleh perlahan. Nenek tua tadi, sudah berdiri di belakangku, sambil membawa obor di tangan sebelah kirinya.
“Eemmmm, saya mencari teman-teman saya, Nek,” jawabku dengan suara terbata-bata dan dada yang tak dapat kutahan lagi cepatnya detak jantung di dalamnya.
“Ayo, ikuti saya,” ucap sang nenek sembari meraih tanganku untuk digandengnya masuk ke gerbang desa yang telah kulewati berkali-kali itu.
Sayup-sayup suara tangis mulai terdengar jelas dari dalam. Sebuah gubuk tua, dengan cahaya obor terpasang di depannya. Nenek memintaku untuk masuk segera, melewati pintu dari bambu berengsel karet. Lantainya masih berupa tanah berpasir, dengan aroma khas sisa air hujan.
Sebuah dipan dari bambu menyambutku di ruang tamu nenek. Di sebelahnya sebuah meja bundar, bulatannya seperti kayu jati yang masih utuh. Tak ada yang aneh ataupun mencolok mata. Hingga pandanganku terhenti di pojok ruang, sebuah gentong berukuran sangat besar, terbuat dari gerabah dan dibalut kain putih mengeluarkan asap dengan aroma kemenyan yang sangat kuat. Aku tertegun penuh tanya.
Nenek memintaku duduk di atas dipan itu, kemudian ia masuk ke balik tirai ruang dalam. Aku hanya terdiam, dengan ribuan tanya yang tak bisa aku jawab. Dari dalam suara tangis anak kecil mulai terdengar lebih nyaring dari sebelumnya. Keringat dingin membasahi seluruh telapak tanganku. Aku kembali gemetaran, kakiku serasa berat untuk beranjak, bahkan kandung kemihku pun terasa penuh sesak untuk memuntahkan isinya.
Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mulai berjalan menuju tirai itu. Tirai berwarna hitam polos yang membagi ruang tamu tempat aku duduk, dengan ruang di mana nenek masuk tanpa penjelasan kepadaku. Kuintip dari pojokan tirai yang tak begitu rapat ditutup oleh nenek tadi. Nadiku serasa terhenti berdenyut. Jantungku seakan copot seketika. Sebuah keadaan yang tak kubayangkan sebelumnya.
Tiga orang terbujur kaku di lantai tanah, penuh darah di sekujur tubuhnya. Seorang lagi masih merintih penuh sakit, tertidur di atas dipan di samping kiri ruangan. Dari pakaian yang dikenakan, aku yakin sekali itu adalah Nina. Celana jeans warna biru tua, jaket biru donker yang penjadi alas tidurnya. Scarf warna pink yang masih melilit di lehernya pemberian dariku sebulan lalu. Celananya nampak tak utuh lagi, robek di sana sini, tangannya juga terbungkus sobekan jarik tua, mungkin milik nenek.
Ingin kuteriak, namun tak bisa. Tenggorokanku seakan tercekik oleh tali besar pengikat sapi yang biasa aku lihat di kendang milik kakekku. Kenapa tak ada volume sedikitpun yang mampu dihasilkan oleh pita suaraku. Aku berdiri tercengang, kakiku lemas seketika dan akhirnya tubuhku jatuh menjuntai tak berdaya.
Pelan-pelan mulai kubuka mata. Sinar mentari mulai memaksa kedua kelopak mataku untuk menatapnya. Badanku masih lemas, tubuhku menggigil kedinginan. Kulihat Nina, menggantiakn kompres di dahiku. Aku demam, di tengah hutan. (*)
Rohmat Bekti Nugroho adalah anggota Perkumpulan Guru Madrasah Penulis (Pergumapi). Lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini juga merupakan guru bahasa Inggris MTs Negeri 4 Gunungkidul. Selain menulis cerita pendek, Rohmat juga menulis puisi.
TIBA-TIBA langkahku terhenti. Bau kemenyan yang mulai mengusik dua lubang hidungku, semakin menimbulkan tanya dalam hati. Sudah hampir satu jam lebih aku menyusuri setapak ini. Tapi kenapa aku kembali lagi ke titik yang sama, sebuah gapura bertuliskan “Sugeng Rawuh di Desa Umbultirto” membuatku serasa ingin menyerah saja.
Entah sudah sampai mana teman-temanku yang lain. Aku mulai terpisah, hanya dalam hitungan detik saja, ketika aku melihat sesosok nenek tua. Rambut putihnya disanggul ke atas, dengan pakaian kebaya dan jarik berwarna coklat tua bermotif burung merak. Terlihat jelas sekali olehku, tatkala sorot lampu senter kuarahkan padanya. Dia tampak berjalan terburu. Intuisi menggerakkanku untuk mengikutinya.
Namun lagi-lagi aku terhenti di depan gapura ini, untuk yang kesepuluh kalinya. Dan tak kutemui seorang pun di sepanjang setapak yang kulewati. Aku heran, kanan kiri hanya ada tanaman kamboja yang bunganya berwarna-warni dengan aroma khasnya yang menusuk hidungku. Rembulan tak terlihat mengintip sedikit pun dari balik awan gelap. Bintang yang bertebaran juga malu menunjukkan kelipnya. Angin malam yang menusuk-nusuk lubang pori tubuhku semakin menimbulkan suasana mistis yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Kami awalnya berlima, sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di sebuah desa, di lereng pegunungan deretan geopark Gunungkidul, Yogyakarta. Aku sendiri, adalah seorang yang jarang sekali berkeliaran malam hari. Kondisi fisikku yang tidak sebugar yang lain, membuatku sering diejek sebagai pemuda yang tak diharapkan pemudi.
“Nak, apa yang kamu cari di tempat ini?” Pertanyan yang terdengar mendadak, dengan suara sendu, berasal dari belakang telingaku.
Bulu kudukku mulai berdiri, kakiku gemetaran, dan aku menoleh perlahan. Nenek tua tadi, sudah berdiri di belakangku, sambil membawa obor di tangan sebelah kirinya.
“Eemmmm, saya mencari teman-teman saya, Nek,” jawabku dengan suara terbata-bata dan dada yang tak dapat kutahan lagi cepatnya detak jantung di dalamnya.
“Ayo, ikuti saya,” ucap sang nenek sembari meraih tanganku untuk digandengnya masuk ke gerbang desa yang telah kulewati berkali-kali itu.
Sayup-sayup suara tangis mulai terdengar jelas dari dalam. Sebuah gubuk tua, dengan cahaya obor terpasang di depannya. Nenek memintaku untuk masuk segera, melewati pintu dari bambu berengsel karet. Lantainya masih berupa tanah berpasir, dengan aroma khas sisa air hujan.
Sebuah dipan dari bambu menyambutku di ruang tamu nenek. Di sebelahnya sebuah meja bundar, bulatannya seperti kayu jati yang masih utuh. Tak ada yang aneh ataupun mencolok mata. Hingga pandanganku terhenti di pojok ruang, sebuah gentong berukuran sangat besar, terbuat dari gerabah dan dibalut kain putih mengeluarkan asap dengan aroma kemenyan yang sangat kuat. Aku tertegun penuh tanya.
Nenek memintaku duduk di atas dipan itu, kemudian ia masuk ke balik tirai ruang dalam. Aku hanya terdiam, dengan ribuan tanya yang tak bisa aku jawab. Dari dalam suara tangis anak kecil mulai terdengar lebih nyaring dari sebelumnya. Keringat dingin membasahi seluruh telapak tanganku. Aku kembali gemetaran, kakiku serasa berat untuk beranjak, bahkan kandung kemihku pun terasa penuh sesak untuk memuntahkan isinya.
Dengan penuh rasa ingin tahu, aku mulai berjalan menuju tirai itu. Tirai berwarna hitam polos yang membagi ruang tamu tempat aku duduk, dengan ruang di mana nenek masuk tanpa penjelasan kepadaku. Kuintip dari pojokan tirai yang tak begitu rapat ditutup oleh nenek tadi. Nadiku serasa terhenti berdenyut. Jantungku seakan copot seketika. Sebuah keadaan yang tak kubayangkan sebelumnya.
Tiga orang terbujur kaku di lantai tanah, penuh darah di sekujur tubuhnya. Seorang lagi masih merintih penuh sakit, tertidur di atas dipan di samping kiri ruangan. Dari pakaian yang dikenakan, aku yakin sekali itu adalah Nina. Celana jeans warna biru tua, jaket biru donker yang penjadi alas tidurnya. Scarf warna pink yang masih melilit di lehernya pemberian dariku sebulan lalu. Celananya nampak tak utuh lagi, robek di sana sini, tangannya juga terbungkus sobekan jarik tua, mungkin milik nenek.
Ingin kuteriak, namun tak bisa. Tenggorokanku seakan tercekik oleh tali besar pengikat sapi yang biasa aku lihat di kendang milik kakekku. Kenapa tak ada volume sedikitpun yang mampu dihasilkan oleh pita suaraku. Aku berdiri tercengang, kakiku lemas seketika dan akhirnya tubuhku jatuh menjuntai tak berdaya.
Pelan-pelan mulai kubuka mata. Sinar mentari mulai memaksa kedua kelopak mataku untuk menatapnya. Badanku masih lemas, tubuhku menggigil kedinginan. Kulihat Nina, menggantiakn kompres di dahiku. Aku demam, di tengah hutan. (*)
Rohmat Bekti Nugroho adalah anggota Perkumpulan Guru Madrasah Penulis (Pergumapi). Lulusan Universitas Negeri Yogyakarta ini juga merupakan guru bahasa Inggris MTs Negeri 4 Gunungkidul. Selain menulis cerita pendek, Rohmat juga menulis puisi.
Thanks for reading Cerpen: Bunga Tidur | Tags: Cerpen Sastra
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Cerpen: Bunga Tidur
Posting Komentar