Rina Harwati dan buku Merah Putih Sertifikasi Guru |
Judul: Merah Putih Sertifikasi Guru
Penulis: Tim Penulis
Tebal: 136 + xii
Penerbit: Matsnuepa Publishing, 2018
ISBN: 978-602-51350-9-5
SERTIFIKASI guru telah berjalan sebelas tahun. Sejak permulaan hingga saat ini aturan pelaksaannya telah mengalami penyempurnaan beberapa kali. Pada awalnya, guru harus melalui jalur portofolio. Jika tidak lulus, guru dapat mengikuti langkah berikutnya, melalui jalur PLPG.
Pada perkembangannya, jalur portofolio ditiadakan. Secara perlahan, jalur PLPG pun harus mengalami penyesuaian menjadi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Jika dulu proses menjadi guru bersertifikat pendidik (profesional) harus guru dengan masa kerja tertentu, sekarang prosesnya bahkan dapat diikuti oleh guru yang belum mengajar. Perbedaannya, jika dahulu yang lulus langsung bisa mendapatkan tunjangan, pada PPG, tidak demikian.
Apapun jalur yang ditempuh para guru, senantiasa menghadirkan suka-duka. Bahkan, setelah berpredikat guru profesional, suka-duka itu tetap menyertai. Itulah yang terekam dalam buku berjudul Merah Putih Sertifikasi Guru ini.
Ayu Dwi Widowati, Siska Yuniati, dan Nuraedah, misalnya. Ketiganya menyinggung bagaimana sulitnya proses menjadi guru profesional melalui jalur portofolio. Dengan perjuangan yang tidak mudah, ketiganya berhasil menjadi guru profesional melalui jalur tersebut.
Ketika dana sertifikasi diterima, dimanfaatkan untuk banyak kepentingan. Rina Harwati misalnya, memanfaatkan dana sertifikasi untuk memperhatikan keluarganya, mengembangkan usaha, dan sebagainya sehingga dapat menjalankan tugasnya sebagai guru lebih tenang dan lebih baik.
Sementara itu, Intan Irawati, Bambang Sukarnoto, Pujarsono, Eza Avlenda, Ruba Nurzaman, dan Yuni Iswari Dewi menuliskan pengalaman mereka menggunakan dana sertifikasi untuk membeli buku, membeli modem internet, mengikuti seminar, membuat media pembelajaran, hingga menulis PTK. Adanya dana sertifikasi selain memberi kesempatan untuk melakukan banyak manfaat dipandang juga "menuntut" banyak hal, terutama terkait pengembangan diri dan pengembangan profesi berkelanjutan.
Dalam tulisannya, Ruba Nurzaman menyebutkan bahwa hingga menerima Tunjangan Profesi Guru (TPG), dirinya tidak pernah mendapat fasilitas pelatihan dari Pemerintah. Dana sertfikasi membuatnya memiliki anggaran yang dapat disisihkan untuk mengikuti berbagai pelatihan atau workshop.
Selain mengikuti seminar dan pelatihan, juga ada guru yang memanfaatkan dana sertifikasi yang dimilikinya untuk melanjutkan studi. Hal ini dilakukan, misalnya, oleh Kasmawati dan Nuraedah.
Kendati secara umum meningkatkan kesejahteraan guru, menjadi guru bersertifikat pendidik bukan tanpa persoalan. Anuk Kuswanti bercerita, bagaimana dirinya sempat berusaha mencari tambahan jam di sekolah lain karena madrasah induknya tidak dapat memberikan cukup jam mengajar sebagai persyaratan penerima tunjangan profesi.
Jika Anuk terkendala jumlah jam mengajar, Yulian bermasalah dengan honornya. Sejak menerima Tunjangan Profesi Guru, Yulian justru tidak mendapat honor bulanan lagi. Sebagai guru honorer, Yulian merasakan hal ini cukup berat, terlebih lagi TPG tidak diterimanya tiap bulan.
Buku berisi 20 tulisan guru-guru madrasah penerima Tunjangan Profesi Guru ini ditutup oleh tulisan Susiana Manasih. Ana, demikian dia biasa dipanggil, menyebutkan bahwa para guru yang menerima tunjangan profesi perlu dievaluasi motivasi dan kinerjanya. Rekomendasi ini didasarkan atas hasil penelitiannya di lingkungan madrasah di DKI Jakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara guru bersertifikat pendidik dengan yang belum, terutama terkait motivasi dan kinerja. (*)
Siska Yuniati
Ketua Perkumpulan Guru Madrasah Penulis (Pergumapi)
Thanks for reading Membaca Langsung Warna-Warni Kisah Penerima Tunjangan Profesi Guru | Tags: Info Buku
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
Pengalan yang berwarna-warni.... ����
BalasHapus