Yeti Islamawati
Guru MTs Negeri 9 Bantul, Anggota Pergumapi
TUTOR Creative Writing, Naning Pranoto dalam buku Creative Writing Telaga Inspirasi Menulis Fiksi menyampaikan hal yang cukup menggelitik, “Setelah membaca: menulis, teruslah menulis. Membaca lagi, lagi, dan lagi setiap saat-setiap hari. Terus menulis, menulis, dan menulis seperti bernafas!” Luar biasa. Menulis menjadi kebutuhan pokok seperti hanya bernapas.
Kenapa harus menulis? Menulis merupakan sarana untuk menuangkan ide. Sehebat apapun ide atau gagasan jika tidak disampaikan kepada orang lain, hanyalah tetap menjadi sebuah ide saja. Menulis juga merupakan sarana untuk ekspresi diri, terapi bagi jiwa, dan hiburan. Selain itu, manusia tidak akan selamanya hidup dan dapat menemui generasi yang hidup jauh di kemudian hari. Oleh karena itu tulisan yang akan mewakili keberadaan kita. Usia tulisan lebih panjang dari usia manusia. Ketiga hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya menulis.
Antara Siswa dan Budaya Menulis
Tentu saja, menulis untuk siswa SD berbeda dengan murid SMP dan SMA. Kegiatan menulis dapat diawali sedini mungkin. Untuk usia sekolah dasar dapat dimulai dengan menuliskan kegiatan yang berkesan, puisi, atau cerita pendek sederhana. Saat ini banyak koran dan majalah yang menyediakan rubrik tersebut, termasuk Kedaulatan Rakyat hari Minggu. Anak-anak biasanya mempunyai banyak cerita. Guru hanya perlu mengarahkan saja agar mereka mudah dalam menuangkan ide.
Untuk siswa remaja, SMP-SMA didorong menulis dengan lebih beragam dan lebih berbobot, misalnya menulis cerita pendek dengan alur yang lebih komplek dan klimak yang “menggigit” disertai setting yang kuat. Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri, yang biasanya menorehkan cerita. Alangkah baiknya jika pengalaman dan kisahnya dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Dengan banyak menulis, remaja dapat lebih menggunakan waktunya dengan baik sehingga budaya pergaulan bebas, dan hedonisme dapat diminimalisir.
Berikut ini beberapa cara menumbuhkan budaya menulis di kalangan siswa. Pertama, guru membiasakan memberi tugas untuk menuliskan apa yang didapat hari itu dengan bahasa sendiri, bukan dengan menyalin buku. Kedua, guru dapat mengadakan presentasi hasil tulisan mereka. Ketiga, guru aktif mencarikan wahana untuk menulis. Misalnya dengan mencermati rubrik-rubrik di koran dan majalah. Termasuk mencarikan informasi lomba menulis, baik itu menulis fiksi maupun menulis ilmiah. Keempat, guru siap membimbing siswa yang berarti guru tersebut harus memulai menulis. Kelima, program kunjungan ke perpustakaan diikuti tugas menulis ulasan buku.
Ide Tulisan
Biasanya terdapat kendala dalam mewujudkan sebuah tulisan. Salah satunya adalah kesulitan dalam menulis itu sendiri. Untuk itu perlu disampaikan cara praktis untuk segera menulis. Tidak perlu menjadi hebat terlebih dahulu baru kemudian menuliskannya.
Nah bagaimana untuk mendapatkan ide tulisan? Salah satunya dengan membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Melalui kegiatan menulis, seseorang akan terdorong untuk mencari referensi atau sumber bacaan. Dari sinilah budaya menulis sekaligus meningkatkan budaya membaca. Memang membaca dan menulis pada hakikatnya seperti dua sisi mata uang. Keduanya sama-sama penting.
Seorang penulis pada hakikatnya adalah seorang pencerita. Tugas seorang pencerita adalah menyampaikan gagasan yang diusungnya kepada pihak lain agar gagasannya diketahui, disetujui, bahkan diikuti oleh pembacanya. Tere Liye, penulis novel best seller dalam salah satu novelnya berjudul Amelia, menyampaikan bahwa peraturan menulis karangan yang baik ada dua. Yang pertama adalah tidak ada aturannya sama sekali. Yang kedua, jika ada yang mengatakan ada peraturannya, maka lihatlah peraturan yang pertama. Sebetulnya menulis ini tidak harus dengan banyak teori. Biarkan jemari kalian mengalir bagai mata air deras dan menuliskan cerita yang bening tanpa tertahankan.”
Memang betul, seseorang yang hanya berkutat pada teori menulis dan tidak berusaha mempraktikkannya, tidak akan pernah menghasilkan karya. Jadi rumus untuk dapat menulis adalah segera menulis. Maka seyogyanya pelajaran menulis pada siswa yang ditekankan adalah menulis itu sendiri, bukan berkutat pada teori menulis. Bukan hanya tentang apa yang benar dan apa yang salah dalam menulis. Menulis itu urusan hati, adapun mengedit tulisan itu urusan otak. Harapannya, kegiatan menulis bagi siswa tidak lagi menjadi sebuah momok yang menakutkan tetapi menjadi semacam kebutuhan.
Satu hal yang wajib diingat adalah bahwa menulis harus jujur, tidak boleh plagiat. Kejujuran adalah sebuah harga mati yang harus dimiliki seorang penulis. (*)
Disiarkan pertama kali di Harian Bernas, edisi Sabtu, 4 Juni 2016 halaman 9.
Thanks for reading Membudayakan Menulis di Kalangan Siswa | Tags: Artikel Esai
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Membudayakan Menulis di Kalangan Siswa
Posting Komentar