Pixabay.com |
ABAI akan bayu yang mempermainkan helai rambutku, serupa abai akan hidup yang mempermainkan nasibku. Sudah biasa ragaku dihantam kenelangsaan takdir, maka kubiarkan deburan ombak menghantam tubuh rentaku yang kian getir. Nanar mataku menyapu pandang hamparan garis pantai di ujung sana. Dulu, tanaman bakau tumbuh subur di garis pantai itu, hampir seperti hutan. Namun, perubahan iklim dan ulah manusia menyebabkan ribuan hektar hutan bakau berubah fungsi. Entah ini suatu kemajuan, atau justru kemunduran pola pikir manusia yang praktis dan materialistis. Sekali lagi, entahlah. Terlebih abaiku sudah berasyik masyuk menguasai segenap pikir, mempengaruhi ragaku untuk sekadar bergerak, apalagi mencari tanya mengapa manusia kini semakin melupa. Dan terlupalah sosok rentaku yang rengsa oleh derita kerinduan. Padamu, Dedaraku. Maka, bacalah kisahku tentangmu, yang kutulis dengan tinta air mata dan kuhembuskan lewat udara.
Semua berawal dari pemuda kota yang sekadar singgah untuk berlibur. Menikmati hamparan pantai Moro, deburan ombak memecah karang, atau hanya menjadi pengamat dari aktivitas para nelayan di antara kapal-kapal kecil penangkap ikan. Begitulah orang kota menghibur diri mereka dari padatnya rutinitas kerja kantoran, dengan mengamati kami yang kerja kasaran. Ironisnya, tubuh mudaku tak luput dari sasaran pengamatan mereka. Dan pada suatu malam yang basah oleh derai rinai yang menebah, masa depanku terenggut paksa dengan cara nista. Dia, sang penista, sirna seiring terbitnya mentari di atas cakrawala.
“Aku akan membesarkan anak ini sendiri. Akan kuhidupi dengan keringatku sendiri. Jangan coba pisahkan aku dari bayi yang sembilan bulan kugauli dalam rahimku,” kataku dengan tegas waktu itu, menantang puluhan mata keluarga dan warga yang tak menghendakimu terlahir ke dunia, menantang nasib yang masih samar di depan sana. Demimu, aku siap menantang dunia, duhai Dedara.
Maka dengan berdiri di atas kaki sendiri, kulahirkan kau dan kuberi nama, Dedara. Rumah kayu kecil, mungkin tidak layak disebut rumah karena dulunya bekas kandang perahu rusak milik Lek Warso, kutempati dengan perabot sederhana lungsuran darinya. Ya, hanya Lek Warso, pak cilik, yang masih peduli padaku. Itu pun karena hutang budi karena rahasia perselingkuhannya dengan Yu Mukayah, istri Bos Dholi, juragan kapal yang mempekerjakannya, kututup rapat tanpa ada yang tahu.
Untuk bertahan hidup dan mengidupimu, kerja apa pun kulakukan. Terkadang, setiap Lek Warso pulang menyang, dia selalu menyisihkan sisa tangkapan ikannya padaku.
“Anakmu harus makan makanan yang bergizi, Min. Ini sisa menyang tadi. Masaklah ikan ini untuk anakmu. Jangan bilang bulekmu kalau paklik ke sini,” begitu pesannya sepulang menyang tadi siang.
Mungkin berkat ikan yang kau makan setiap harinya itu, badanmu tumbuh sehat dan otakmu kian pintar. Apa saja kau tanyakan dari celotehmu yang ceriwis dan tak bisa diam. Namun karena kepintaranmu itu pula, aku selalu kelu setiap kali harus menjawab pertanyaan yang sama darimu, tentang bapakmu.
“Bapakmu menyang ke laut yang paling jauh dan paling dalam,” begitu kataku selalu padamu.
“Lalu kapan Bapak pulang?” katamu lagi.
“Kalau kamu banyak tanya, Bapak tidak akan pulang. Semakin kamu tidak banyak tanya, rajin belajar, patuh pada Mamak, nanti Bapakmu akan pulang dengan sendirinya,” kataku, yang ternyata mampu membuatmu diam dan tidak bertanya lagi tentang Bapakmu, sampai sekarang.
Laju waktu membuat segalanya ikut melaju. Kau pun tumbuh menjadi gadis remaja nan ayu. Selepas SMA, kau pergi ke kota tinggalkan mamakmu ini dengan janji akan kembali. Dua bulan berselang kau pun pulang. Bahagiaku tak dapat terlukiskan.
“Mak, aku dapat majikan baik di kota. Aku kerja dengan pengusaha tembakau di kota Kretek. Ini gaji pertamaku buat Mamak,” katamu waktu itu seraya mengangsurkan uang dan kubalas dengan air mata berlinang. Rupanya, sore itu adalah sore terakhir kita bercengkerama, di atas lincak depan rumah kayu kita. Setelahnya, kau tak pernah pulang meski hanya berkirim kabar.
Kini, aku hanya mampu memagut bayangmu yang kulukis di atas langit Pantai Moro sambil membayangkanmu berada di atas salah satu kapal nelayan sembari melambaikan tangan. Deburan ombak melarung rinduku, bersama sejuta pengharapan yang kudendangkan dalam bait-bait sajak tentangmu.
Dedara…
tak kupinta periukku kau penuhi
dengan nasi pulen dari beras mahal orang gedongan
atas keringat asam yang kucucurkan
menjadi sesuap aking yang garing dan tak mengenyangkan
Tak kuharap gubukku kau jejali
dengan pundi rupiah yang kau sodorkan hadap mukaku
sebagai balas jasa atas air susuku yang muncrat
dari puting kurus tak menggairahkan
di sebalik kutang kumal yang selalu kautarik mainkan
Tak ingin pula kau sulap menjadi singgasana
lincak tempat kita dulu bercengkerama
sebagai tumpuan bokong keriputku
yang kau sangka buatku nyaman dalam deraan penantian
Pun, tak kuhirau cakap orang
yang merajam gila dan berkelindan sempoyongan
hingga menohok kuping dan menggelangsar
sangka-mu melupa asal
Dedara…
Ketika mimpi kian meranggas
segenap tubuh rentaku pun mencadas
menguntai rindu yang memburu
menganyam harap yang meluap
Dedara...
entah berapa lama waktu kubungkam
agar tak berlari cepat mengalahkan kesabaran
tak jemu mendedah almanak usang di bilik kusam
menunggu dan selalu berharap kau pulang
sebelum ajalku datang menjelang
Cerpen ini disiarkan pertama kali dalam antologi Selendang Mayang; Short Stories froum Around the World (2017), dikarang oleh Ikha Mayashofa Arifiyanti, S.Pd.,M.A., Sekretaris Bidang Kepenulisan Sastra pada Pergumapi.
Thanks for reading Cerpen: Rengsa | Tags: Cerpen Sastra
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Cerpen: Rengsa
Posting Komentar