Tempo.co |
Guru MTs Negeri Yogyakarta 1, Ketua Bidang Penulisan Media Massa Pergumapi
KALAU ingat peristiwa itu rasanya aku ingin tersenyum sendiri, yah masa-masa indah awal aku mengajar. Kala itu tahun 1995, aku mulai mengajar di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di daerah Bantul. Betapa senangnya hatiku setelah sekitar tujuh tahun lamanya aku menjadi guru GTT dan alhamdulillah diterima menjadi PNS. Meskipun jarak madrasah dengan rumahku cukup jauh, tapi aku merasa bahagia karena dapat membahagiakan kedua orangtuaku yang menginginkan salah satu putranya ada yang menjadi pegawai negeri.
Setiap hari aku pulang pergi ke kantor harus berganti bus sebanyak lima kali dan masih ditambah naik becak atau andong untuk sampai di kediaman mertuaku. Maklum sejak menikah sampai delapn tahun lamanya aku memang tinggal di PMI atau Pondok Mertua Indah di daerah Kotagede.
Peristiwa yang menggelikan itu terjadi saat pertama kali aku unjuk muka di madrasah tempatku mengajar. Aku dan dua orang teman yang sama-sama ditempatkan di satu sekolah baru mengikuti kegiatan survei dan beradaptasi selama beberapa hari. Kami belum mendapat bagian jadwal mengajar sehingga kami hanya berkeliling lokasi madrasah, meninjau perpustakaan, kelas, laboratorium, ruang tata usaha, ruang OSIS, dan sebagainya.
Kebetulan waktu itu baru musim hujan, aku membawa payung dan diletakkan di ruang guru yang kebetulan bersebelahan dengan ruang kelas XI IPS 2.
Setelah dirasa cukup berorientasi dan berkeliling madrasah, maka kami pun segera pamit pulang ke rumah. Namun, saat aku mau mengambil payung yang diletakkan di belakang pintu, lho... kok payungnya sudah raib? Di mana, ya? Aku pun berpikir, ”Ah jangan-jangan aku lupa membawanya atau lupa menaruhnya?”
Maka sambil malu-malu aku mencoba mengulang rute perjalanan waktu survei tadi, sambil lingak-linguk mencari payung. Tapi payung yang dicari tidak ketemu juga. Wah... padahal hujan mulai turun, pasti nanti kehujanan. Lalu aku kembali ke ruang guru lagi melewati kelas XI IPS 2.
Tiba tiba... aku dengar suara anak-anak tertawa cekikak-cekikik dari kelas XI IPS 2. Aku pikir, ”Ah mungkin itu hanya anak-anak yang cari perhatian, maklum ada guru baru”. Tetapi lama kelamaan kudengar suara dari kelas XI IPS 2 semakin riuh dan bahkan menyebabkan kegaduhan. Naluriku berkata, aku harus mencari tahu apa yang terjadi di XI IPS 2. Kebetulan saat itu baru saja ganti pelajaran dan guru yang mengajar berikutnya belum masuk ke kelas.
Aku pun memberanikan diri masuk ke kelas tersebut. Namun, apa yang terjadi? Kulihat ada seorang anak laki-laki sedang memainkan payung sambil berlenggak-lenggok layaknya seorang penari. Teman-teman lainnya menertawakannya dan berteriak-teriak banci... banci....!!
Kontan saja saya berkata,”Ayo mas.... payung punya Ibu tolong dikembalikan ya!”
Sambil tersipu malu anak itu segera mengembalikan payung saya sambil berkata, “Maaf Bu... payungnya saya pinjam lho.... ”
Alhamdulillah.... akhirnya payungku ketemu juga, meski secara tak sengaja. Dasar anak-anak ada-ada saja ulahnya. (*)
Thanks for reading Cerpen: Muridku Usil, Aku Tersentil | Tags: Cerpen Sastra
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Cerpen: Muridku Usil, Aku Tersentil
Posting Komentar