Siska Yuniati
Guru MTs Negeri 3 Bantul, Ketua Umum Pergumapi
Perjalanan Yogyakarta-Jakarta akan terasa jauh dan melelahkan ketika kita memilih mengendarai sebuah mobil. Setidaknya kita membutuhkan waktu 12 jam untuk mencapainya. Akan tetapi, perjalanan tersebut akan demikian singkat tatkala kita memilih menumpang pesawat. Dalam waktu kurang dari satu jam kita sudah sampai di tempat tujuan. Pilihan terakhir memaksa kita mengeluarkan biaya lebih mahal, akan tetapi dari segi waktu sungguh terpaut jauh. Apalagi jika selisih waktu itu memberi kita kesempatan untuk beraktivitas yang lebih berkualitas, tentu masalah uang akan terlihat sepele.
Tulisan ini tidak berbicara mengenai uang. Namun, ada banyak hal yang dapat kita peroleh manakala kita jitu menyusun strategi untuk meraih suatu tujuan yang kelihatannya tidak mungkin. Moshe Kai Cavalin, anak 11 tahun yang lulus kuliah dengan nilai sempurna, menceritakan kesuksesannya dalam sebuah buku. Ada satu catatan yang dituliskan Moshe Kai dalam buku tersebut, “Aku tidak genius, dengan strategi dan metode belajar yang tepat, bisa berprestasi akademis dan meraih banyak trofi dari kompetisi bela diri, piano, drama, menyelam, dan menerbangkan pesawat ringan”.
Moshe Kai Kavalin lahir di California pada tanggal 14 Februari 1998. Ayahnya sendiri lahir di Brazil, keturunan dari orang tua yang berdarah Italia, Portugis, Brazil, Jerman, dan Polandia. Sementara, ibunya lahir di Taiwan, keturunan Taiwan dan Cina Daratan. Seperti bayi pada umumnya, Moshe Kai, demikian nama yang dipilihnya, memiliki pertumbuhan yang wajar. Keistimewaan itu muncul berkat pola asuh dan stimulan yang diberikan oleh kedua orang tua beserta kakek dan neneknya.
Proses belajar yang sebenarnya dimulai segera setelah aku lahir. Ayah berpikir dengan meletakkan benda-benda yang menarik perhatianku di dalam boks bayi adalah penting karena melatih interaksi pancainderaku. Musik klasik atau musik yang lembut dimainkan di sekelilingku dengan suara lirih hampir setiap saat (hal. 10). Ayah Moshe Kai di sela-sela kesibukannya bekerja memang sangat memperhatikan anaknya. Menurutnya, stimulan sensoris adalah yang penting, terutama untuk menyetimululasi kemampuan audio-visual. Pancaindera seorang anak harus selalu dirangsang. Stimulus audio dan visual mempercepat perkembangan otak bayi.
Stimulus yang dilakukan ayah Moshe Kai tidak hanya dilakukan di dalam boks bayi, namun ia juga memanfaatkan keramaian lingkungan untuk menunjukkan benda dan namanya kepada Moshe Kai. Hal sederhana yang dilakukan adalah membawa Moshe Cai di depan rumah, menunggu pesawat jet yang akan melintasi angkasa. Begitu pesawat melintas, ayah Moshe Kai akan menunjuk pesawat dan mengucapkan kata “feitchi” (bahasa Cina untuk pesawat). Setelah berbulan-bulan dilakukan, pada usia empat bulan Moshe Kai dapat meniru apa yang ditunjuk dan dikatakan ayahnya.
Melihat perkembangan Moshe kai, kedua orang tuanya terus memberi stimulan, termasuk menggunakan kartu-kartu bergambar untuk menambah kosakata. Tidak berhenti di situ, ketahanan fisik juga diperhatikan. Usai makan malam, biasanya Moshe Kai diajak berkeliling blok dengan berjalan kaki. Moshe Kai juga mengikuti beberapa kelas bela diri. Ia pun berlatih piano. Beberapa kompetisi bela diri dan piano yang diikutinya mengantarkannya menjadi juara.
Kehidupan Moshe Kai tidaklah selalu mulus. Moshe Kai pernah mengalami banyak penolakan ketika mendaftar di sekolah formal. Pada usia 6 tahun ia hanya boleh belajar di kelas satu, padahal kemampuannya jauh di atas itu. Ayah Moshe tidak mau kalau anaknya harus mengulang pelajaran yang sudah ia kuasai. Demikian juga untuk kelas setingkat SMP dan SMA semua menolak menerima Moshe Kai menjadi siswa dengan berbagai alasan. Ada yang memberi alasan bahwa kehadiran Moshe Kai akan membuat siswa lain minder. Setelah mengalami berbagai penolakan, akhirnya ayah Moshe Kai menjatuhkan pilihan home schooling untuk pendidikan anaknya.
Moshe Kai dapat kuliah pada usia delapan tahun lantaran ada sebuah akademi junior, yaitu East Los Angeles College (ELAC), yang mengizinkannya mengikuti tes masuk. Pada awal kuliah, Moshe Kai sering diragukan kemampuannya oleh dosen. Hanya saja, Moshe Kai selalu mengingat nasihat ayahnya yakni: rencanakan, banyak latihan, dan tunjukkan.
Selain menceritakan kisah hidupnya, dalam buku setebal 138 halaman ini Moshe Kai berbagi rahasia suksesnya. Rahasia tersebut antara lain strategi belajar di rumah dan di sekolah, mengatur waktu antara bermain dan belajar, pembagian peran ayah dan ibu, stimulasi sejak dini, panduan membuat aturan, reward, dan punishment, dan lain sebagainya.
Membaca buku ini kita akan melihat bahwa Moshe Kai tumbuh dan berkembang dengan kesederhanaan dan penuh keceriaan. Sebuah buku yang memberikan motivasi pada anak untuk terus berusaha mewujudkan visinya. Juga sentilan bagi orang tua untuk selalu mendampingi anak-anak dalam menjalani kehidupannya. Perhatian, cinta, dan kesungguhan orang tua adahlah hal penting yang dibutuhkan anak-anak untuk meraih masa depan yang lebih cerah.
Judul Buku: Ditolak di Sekolah Formal, Lulus Kuliah Umur 11 Tahun dengan IPK 4!
Penulis: Moshe Kai Cavalin
Penerjemah: Dina Mardiana
Penerbit: Media Pusindo
Tahun Terbit: 2012
Tebal: vi + 138 halaman
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali pada Majalah Bakti Edisi No. 264-THXX-Maret 2013.
Guru MTs Negeri 3 Bantul, Ketua Umum Pergumapi
Perjalanan Yogyakarta-Jakarta akan terasa jauh dan melelahkan ketika kita memilih mengendarai sebuah mobil. Setidaknya kita membutuhkan waktu 12 jam untuk mencapainya. Akan tetapi, perjalanan tersebut akan demikian singkat tatkala kita memilih menumpang pesawat. Dalam waktu kurang dari satu jam kita sudah sampai di tempat tujuan. Pilihan terakhir memaksa kita mengeluarkan biaya lebih mahal, akan tetapi dari segi waktu sungguh terpaut jauh. Apalagi jika selisih waktu itu memberi kita kesempatan untuk beraktivitas yang lebih berkualitas, tentu masalah uang akan terlihat sepele.
Tulisan ini tidak berbicara mengenai uang. Namun, ada banyak hal yang dapat kita peroleh manakala kita jitu menyusun strategi untuk meraih suatu tujuan yang kelihatannya tidak mungkin. Moshe Kai Cavalin, anak 11 tahun yang lulus kuliah dengan nilai sempurna, menceritakan kesuksesannya dalam sebuah buku. Ada satu catatan yang dituliskan Moshe Kai dalam buku tersebut, “Aku tidak genius, dengan strategi dan metode belajar yang tepat, bisa berprestasi akademis dan meraih banyak trofi dari kompetisi bela diri, piano, drama, menyelam, dan menerbangkan pesawat ringan”.
Moshe Kai Kavalin lahir di California pada tanggal 14 Februari 1998. Ayahnya sendiri lahir di Brazil, keturunan dari orang tua yang berdarah Italia, Portugis, Brazil, Jerman, dan Polandia. Sementara, ibunya lahir di Taiwan, keturunan Taiwan dan Cina Daratan. Seperti bayi pada umumnya, Moshe Kai, demikian nama yang dipilihnya, memiliki pertumbuhan yang wajar. Keistimewaan itu muncul berkat pola asuh dan stimulan yang diberikan oleh kedua orang tua beserta kakek dan neneknya.
Proses belajar yang sebenarnya dimulai segera setelah aku lahir. Ayah berpikir dengan meletakkan benda-benda yang menarik perhatianku di dalam boks bayi adalah penting karena melatih interaksi pancainderaku. Musik klasik atau musik yang lembut dimainkan di sekelilingku dengan suara lirih hampir setiap saat (hal. 10). Ayah Moshe Kai di sela-sela kesibukannya bekerja memang sangat memperhatikan anaknya. Menurutnya, stimulan sensoris adalah yang penting, terutama untuk menyetimululasi kemampuan audio-visual. Pancaindera seorang anak harus selalu dirangsang. Stimulus audio dan visual mempercepat perkembangan otak bayi.
Stimulus yang dilakukan ayah Moshe Kai tidak hanya dilakukan di dalam boks bayi, namun ia juga memanfaatkan keramaian lingkungan untuk menunjukkan benda dan namanya kepada Moshe Kai. Hal sederhana yang dilakukan adalah membawa Moshe Cai di depan rumah, menunggu pesawat jet yang akan melintasi angkasa. Begitu pesawat melintas, ayah Moshe Kai akan menunjuk pesawat dan mengucapkan kata “feitchi” (bahasa Cina untuk pesawat). Setelah berbulan-bulan dilakukan, pada usia empat bulan Moshe Kai dapat meniru apa yang ditunjuk dan dikatakan ayahnya.
Melihat perkembangan Moshe kai, kedua orang tuanya terus memberi stimulan, termasuk menggunakan kartu-kartu bergambar untuk menambah kosakata. Tidak berhenti di situ, ketahanan fisik juga diperhatikan. Usai makan malam, biasanya Moshe Kai diajak berkeliling blok dengan berjalan kaki. Moshe Kai juga mengikuti beberapa kelas bela diri. Ia pun berlatih piano. Beberapa kompetisi bela diri dan piano yang diikutinya mengantarkannya menjadi juara.
Kehidupan Moshe Kai tidaklah selalu mulus. Moshe Kai pernah mengalami banyak penolakan ketika mendaftar di sekolah formal. Pada usia 6 tahun ia hanya boleh belajar di kelas satu, padahal kemampuannya jauh di atas itu. Ayah Moshe tidak mau kalau anaknya harus mengulang pelajaran yang sudah ia kuasai. Demikian juga untuk kelas setingkat SMP dan SMA semua menolak menerima Moshe Kai menjadi siswa dengan berbagai alasan. Ada yang memberi alasan bahwa kehadiran Moshe Kai akan membuat siswa lain minder. Setelah mengalami berbagai penolakan, akhirnya ayah Moshe Kai menjatuhkan pilihan home schooling untuk pendidikan anaknya.
Moshe Kai dapat kuliah pada usia delapan tahun lantaran ada sebuah akademi junior, yaitu East Los Angeles College (ELAC), yang mengizinkannya mengikuti tes masuk. Pada awal kuliah, Moshe Kai sering diragukan kemampuannya oleh dosen. Hanya saja, Moshe Kai selalu mengingat nasihat ayahnya yakni: rencanakan, banyak latihan, dan tunjukkan.
Selain menceritakan kisah hidupnya, dalam buku setebal 138 halaman ini Moshe Kai berbagi rahasia suksesnya. Rahasia tersebut antara lain strategi belajar di rumah dan di sekolah, mengatur waktu antara bermain dan belajar, pembagian peran ayah dan ibu, stimulasi sejak dini, panduan membuat aturan, reward, dan punishment, dan lain sebagainya.
Membaca buku ini kita akan melihat bahwa Moshe Kai tumbuh dan berkembang dengan kesederhanaan dan penuh keceriaan. Sebuah buku yang memberikan motivasi pada anak untuk terus berusaha mewujudkan visinya. Juga sentilan bagi orang tua untuk selalu mendampingi anak-anak dalam menjalani kehidupannya. Perhatian, cinta, dan kesungguhan orang tua adahlah hal penting yang dibutuhkan anak-anak untuk meraih masa depan yang lebih cerah.
Judul Buku: Ditolak di Sekolah Formal, Lulus Kuliah Umur 11 Tahun dengan IPK 4!
Penulis: Moshe Kai Cavalin
Penerjemah: Dina Mardiana
Penerbit: Media Pusindo
Tahun Terbit: 2012
Tebal: vi + 138 halaman
Tulisan ini dipublikasikan pertama kali pada Majalah Bakti Edisi No. 264-THXX-Maret 2013.
Thanks for reading Resensi: Rahasia Lulus Kuliah Umur 11 Tahun | Tags: Resensi
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Resensi: Rahasia Lulus Kuliah Umur 11 Tahun
Posting Komentar