.Brilio.net |
Kata gawai mungkin masih terdengar asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia, tak terkecuali bagi yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia. Saya sendiri mengenal kata gawai belumlah lama, padahal kata ini sudah lebih dari satu tahun diperkenalkan sebagai pengganti satu kata yang sudah populer di masyarakat. Namun, kata yang sudah telanjur populer tersebut sesungguhnya tidaklah tepat digunakan terutama dalam pengajaran bahasa Indonesia karena berasal dari bahasa asing.
Beberapa waktu yang lalu, sempat saya bertanya jawab dengan teman-teman guru di MGMP Bahasa Indonesia kabupaten (berjumlah lebih dari 20 orang) tentang makna kata gawai atau padanannya. Tak satu pun teman saya yang mengetahui padanan kata tersebut. Pada umumnya mereka balik bertanya dengan sedikit rasa penasaran, lebih tepatnya merasa sangat asing dengan kata gawai. Gawai? Apa itu gawai? Gawai atau dawai gitar? Hal yang sama terulang ketika saya menanyakannya kepada siswa maupun masyarakat umum. Bagi mereka, istilah gawai terdengar aneh. Jadi, saya berkesimpulan bahwa kata ini belum populer sehingga sangat perlu disosialisasikan kepada masyarakat.
Sebagai seorang guru, terlebih guru bahasa Indonesia, saya hanya ingin mengajak kita lebih mencintai bahasa Indonesia dengan cara menggunakannya secara baik dan benar. Tidak terlalu terpengaruh atau malah memopulerkan bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Karena kata asing tersebut, kita malah bisa menjadi usang.
Lantas, apakah makna gawai itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008:422), kata gawai memiliki dua makna. Makna pertama, kata 1gawai n kerja; pekerjaan, artinya gawai berkelas kata nomina dan bermakna 'kerja' atau 'pekerjaan'. Makna kedua, kata ga•wai kl n alat; perkakas, artinya gawai termasuk kata kl (klasik) dan berkelas kata nomina yang bermakna 'alat' atau 'perkakas'. Dalam petunjuk kamus, disebutkan singkatan kl berarti klasik, untuk kata-kata yang berlabel kl digunakan dalam kesusastraan melayu klasik.
Berdasarkan makna kamus tersebut, terdapat dua homonim kata gawai, yakni (1) kerja; pekerjaan dan (2) alat; perkakas. Makna (1) digunakan sebagai pembentuk kata pegawai (pekerja di kantor atau karyawan) yang masih sering dipakai, sedangkan makna (2) sudah hampir tidak pernah dipakai dalam kosakata saat ini, yakni ditandai dengan singkatan kl di dalam kamus. Makna kedua kata gawai berarti 'alat' atau 'perkakas' penunjang pekerjaan. Makna kedua inilah yang kemudian digunakan menjadi padanan kata berbahasa Inggris, gadget. Kata gadget dimaknai sebagai alat atau perkakas yang dapat menunjang pekerjaan dan komunikasi (wikipedia.com). Gadget sama dengan gawai semakin ditegaskan oleh para ahli bahasa yang bersepakat menyatakan bahwa padanan kata gadget dalam bahasa Indonesia adalah gawai (Rahmadianti Cyntia, 2015). Hal ini semakin ditegaskan dalam KBBI Edisi Kelima Luring (aplikasi luar jaringan) tahun 2016 bahwa makna kedua untuk kata gawai ini, bertambah menjadi peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis.
Jadi, sebenarnya kata gawai sudah sedari dulu ada dalam kosakata bahasa Indonesia. Namun, kata tersebut kalah populer dengan kata gadget yang notabene adalah istilah dalam bahasa Inggris. Kalau bahasa Indonesia sudah memiliki kosakata gawai, mengapa kita masih menggunakan kosakata gadget? Oleh karena itu, sangat perlu kita sebagai guru, apalagi guru bahasa Indonesia untuk menyosialisasikan sekaligus memopulerkan kosakata gawai kepada anak didik kita sebagai wakil dari masyarakat Indonesia.
Asal Mula dan Perkembangan Gawai
Setelah mengetahui makna gawai, kita juga perlu tahu lebih jauh tentang gawai dan seluk beluknya. Sesuai maknanya, yaitu alat atau perkakas, gawai selalu dirancang dengan kecanggihan teknologi tinggi dan melebihi benda yang sudah lebih dulu diciptakan. Salah satu hal yang membedakan gawai dengan perangkat elektronik lainnya adalah unsur “kebaruan”. Artinya, dari hari ke hari gawai selalu muncul dengan menyajikan teknologi terbaru yang membuat hidup manusia menjadi lebih praktis. Jenis gawai yang paling umum diketahui oleh masyarakat adalah handphone yang merupakan bentuk kebaruan dari telepon duduk (rumah) dan laptop sebagai bentuk kebaruan dari komputer portabel.
Seperti yang kita ketahui saat ini, perkembangan gawai di Indonesia cukup pesat. Bahkan, peminat gawai di negeri ini dari waktu ke waktu semakin bertambah. Hampir seluruh lapisan masyarakat gemar menggunakan gawai. Dari hanya sekadar handphone, kemudian berkembang menjadi telepon pintar atau lazim disebut smartphone. Smartphone yang menjadi pilihan banyak orang di antaranya adalah Blackberry, iPhone, dan Android. Trend gawai sejak beberapa tahun terakhir diprediksi masih dipegang oleh segmen smartphone ini. Meskipun gawai yang lain yaitu netbook (perpaduan komputer portabel seperti notebook dan internet) masih memiliki peluang untuk berkembang, tetapi rasanya masih kalah dengan perkembangan smartphone. Hal ini dikarenakan tingkat konsumsi smartphone di Indonesia semakin bertambah.
Gawai untuk Akses Internet
Salah satu fitur terkenal dan paling menarik dari gawai adalah internet. Melalui internet, siswa dapat dengan mudah mencari informasi apa pun untuk tugas-tugas sekolah. Selain memperkaya wawasan, dengan gawai yang menyediakan akses internet, kita bisa memperluas persahabatan melalui jejaring sosial, seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, ataupun BBM.
Untuk mengakses internet dan berselancar di dunia maya, sekarang sudah semakin mudah. Jika dulu kita harus ke warnet dan membayar biaya untuk akses internet, sekarang kita tinggal membeli kuota atau mendaftar memakai pulsa. Saking hausnya kita akan informasi, kita bahkan rela tidak bertelepon seminggu daripada tidak internetan sehari.
Internet memang memberi kesempatan terbesar untuk anak didik kita, tetapi juga menjadi ancaman terbesar apabila kita tidak bijaksana mengawasinya. Terlalu banyak waktu di internet membuat anak mengetahui tentang dunia, tetapi tidak mengetahui apa-apa tentang hidup.
Gawai: Antara Peluang dan Ancaman
Perkembangan gawai dewasa ini sangat luar biasa, bahkan penggunaannya pun sudah merambah jauh ke desa termasuk menghilangkan batas usia pemakainya. Sebagai gambaran, kita bisa melihat banyak balita yang sudah mampu menggunakan dan mengoperasikan gawai walaupun belum mengenalnya dengan baik. Anak-anak zaman sekarang memang merupakan digital native yang menjadikan gawai sebagai dunianya.
Fenomena lonjakan sosial media dalam gawai ini sering kali membuat siswa mengenyampingkan proses belajar, baik di rumah maupun sekolah. Perhatiannya tersedot pada fitur-fitur gawai yang menarik, pada status dan komentar, dan pada kicauan di twitter. Pengalihan perhatian semacam ini tentu saja mengganggu proses penyerapan informasi yang diberikan oleh guru kepada siswa. Kadang tidak jarang ditemui berita tentang siswa yang tidur larut malam hanya untuk memenuhi rasa penasarannya di depan internet. Untuk itu, harus ada cara agar siswa bisa tetap bersemangat belajar dengan memanfaatkan gawai yang dimilikinya.
Sebenarnya, gawai-gawai ini bisa menjadi modal bagi guru dalam mengembangkan kreativitasnya mengajar. Pola mengajar yang paling tepat bagi siswa di era digital ini adalah dengan mengajaknya belajar dalam dunianya, yaitu dunia digital. Untuk itu, gawai menjadi hal yang mudah untuk digunakan dalam pembelajaran. Justru, guru sebaiknya tidak lari dari dunia siswa yang dipenuhi teknologi jika ingin tetap didengar dan diperhatikan. Masuklah ke dunia siswa sehingga bisa mendampingi mereka menggunakan gawai dengan bijak.
Banyak orang beranggapan bahwa dengan memiliki gawai, mereka sudah bisa melakukan banyak hal yang dulu tidak bisa dilakukan. Bahkan ada yang menganggap bahwa memiliki gawai adalah sebuah keharusan, sebuah kewajiban bagi setiap orang. Gawai sudah menjadi gaya hidup. Apakah ini bisa dikatakan sebuah kemunduran atau justru sebuah kemajuan? Tergantung dari sisi mana kita melihat dan mengkritisinya.
Gawai yang diciptakan dimaksudkan untuk membantu manusia lebih mengefektifkan waktu dan mempermudah manusia dalam melakukan kegiatan. Namun, rupanya telah terjadi pergeseran fungsi gawai. Dari alat canggih yang seharusnya membantu manusia berbalik arah menjadi alat yang mengganggu bahkan membelenggu manusia dalam beraktivitas. Ini semua tergantung dari bagaimana cara kita menggunakan gawai tersebut. Penggunaan gawai secara bijaksana akan lebih banyak membantu kita dalam beraktivitas. Penggunaan gawai secara berlebihan akan menghambat kita untuk berkembang dan maju.
Gawai, Guru, dan Peserta Didik
Ada tantangan baru bagi para guru dari melesatnya perkembangan dunia teknologi informatika dan alat elektronik seperti gawai, yaitu bagaimana guru bisa memanfaatkan gawai untuk mengoptimalkan pembelajaran di kelas. Tugas yang tak mudah memang karena guru dituntut untuk melek teknologi. Suka atau tidak suka, anak didik kita besar di era digital, sehingga para guru sebisa mungkin menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Diperlukan kreativitas bagi guru untuk memanfaatkan gawai-gawai yang dimiliki oleh anak didiknya agar kebermanfaatannya tidak disalahgunakan dan kita dapat mencegah dampak buruk yang sering kita dengar.
Sangat banyak yang bisa guru lakukan untuk memanfaatkan gawai. Pertama, guru bisa memanfaatkan gawai untuk sarana dan prasarana pembelajaran seperti penggunaan laptop dan internet untuk mencari bahan ajar tambahan misalnya video, gambar, artikel, dan kegiatan ilmiah sederhana yang dapat dipraktikkan dalam menunjang materi pembelajaran.
Kedua, guru dapat memanfaatkan gawai dengan akses internet di dalamnya sebagai sarana pemberian tugas dan pengumpulan tugas siswa. Contohlah dengan menggunakan jejaring sosial yang sudah populer di kalangan siswa seperti facebook, twitter, blog, atau yang lainnya. Dalam memanfaatkan sosial media ini ada catatan khusus untuk guru, di mana guru harus memahami sosial media yang hendak digunakan dan juga mudah untuk dipahami oleh semua siswa. Ada nilai tambah dari pemanfaatan sosial media ini, guru juga dapat memantau siswa dalam menggunakan sosial media, bukan overprotective juga terhadap siswa, tetapi guru bisa lebih mengontrol hal-hal yang memang belum waktunya untuk diketahui anak atau dari konten-konten tidak mendidik.
Ketiga, guru juga bisa memanfaatkan gawai, misalnya handphone yang berkamera untuk memotret hasil karya praktikum dan prosesnya. Gambar-gambar ini bisa digunakan untuk melengkapi laporan praktikum. Bisa juga handphone yang memiliki perekam suara atau video untuk merekam dialog drama.
Guru modern tidak cukup hanya bisa menggunakan teknologi terbaru namun juga harus bisa membangun rasa senang belajar yang kemudian memunculkan daya pikir kritis dan jiwa kreatif siswanya. Di sisi lain kehadiran zaman serba high tech ini tidak lantas menjadikan mereka robot-robor digital yang bisu, angkuh, dan egois. Untuk itu menjadi tugas guru untuk tetap memberikan human touch yang menjadikan anak-anak tetap santun, berempati, dan berjiwa sosial. Para guru juga harus tetap mendampingi dan mengarahkan anak didiknya agar dapat memanfaatkan teknologi secara sehat demi masa depan yang lebih baik dalam era teknologi untuk kemajuan dan perkembangan pembelajaran dan pendidikan.
Era global dengan segala kompleksitasnya memang membuat sekolah menghadapi tantangan yang belum dihadapi sebelumnya. Jika dahulu sekolah merupakan salah satu otoritas yang sangat kuat dalam menginternalisasikan nilai dan karakter kepada peserta didik, saat ini kondisinya sudah sangat berbeda.
Mengapa peserta didik lebih senang menggunakan gawai saat pembelajaran di sekolah? Tentu akan muncul banyak jawaban. Salah satu jawaban yang mungkin adalah pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak menarik. Itu membuat peserta didik dengan mudah teralihkan untuk memainkan gawainya daripada memperhatikan pembelajaran. Jika itu yang terjadi, para guru harus meninjau ulang pembelajaran yang telah dilakukan.
Guru sebagai orang yang sehari-hari berhadapan dengan peserta didik tentu diharapkan tidak hanya menyajikan teori dan wacana saat pembelajaran di ruang kelas. Guru memandu setiap pembelajaran, bukan melakukan indoktrinasi, apalagi menjadi pihak yang selalu merasa benar. Guru harus memberikan peluang bagi peserta didik untuk membangun wacana sendiri, pandangan terhadap nilai-nilai kehidupan keseharian. Pembelajaran harus jadi proses yang menyenangkan, juga memberikan ruang pencerahan dan kesadaran.
Jika itu terjadi, niscaya peserta didik akan aktif berdiskusi dan berkontribusi dalam pembelajaran daripada memainkan gawai. Hal ini dikarenakan mereka menyadari bahwa pembelajaran di sekolah memberikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan keseharian. Pembelajaran akan sangat membosankan jika fokusnya hanya capaian kognitif yang berupa nilai-nilai akademis, yang kemudian digunakan sebagai satu-satunya indikator ukuran prestasi peserta didik. Padahal, peserta didik, terutama di usia remaja merupakan individu-individu yang membutuhkan banyak perspektif mengenai kehidupan keseharian yang dihadapi.
Kehadiran gawai harus mampu dimanfaatkan oleh guru untuk mendalami beragam persoalan kehidupan. Itu bisa dilakukan melalui banyak informasi yang relevan dengan kegiatan pembelajaran. Peserta didik dapat diminta untuk mencari informasi yang dibutuhkan melalui gawai yang dimiliki.
Optimalisasi Gawai untuk Pembelajaran
Penyebaran informasi mengenai radikalisme, kekerasan, maupun pornografi sangat mudah diakses oleh siapa saja, termasuk peserta didik. Secara viral, informasi tersebut didapat peserta didik melalui media sosial yang ada pada gawai dalam genggaman masing-masing.
Hal itu tentu saja menjadi tantangan bagi sekolah untuk tetap mampu menginternalisasikan nilai-nilai positif saat segala informasi terpapar dengan mudah memenuhi ruang kesadaran para peserta didik. Timbul ide agar ada pembatasan, bahkan pelarangan membawa gawai ke sekolah bagi peserta didik. Sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan jika sekolah sebagai unit yang paling mikro dalam pembelajaran mampu memberikan pemahaman tentang penggunaan gawai secara efektif kepada peserta didik.
Saat ini jauh lebih mudah menemukan sekolah yang melarang penggunaan gawai daripada sekolah yang mendayagunakan gawai secara masif dalam pembelajaran. Fitur-fitur yang ada di dalam gawai diperlakukan secara ambigu, sebagai musuh saat tak mampu menanganinya, dan sebagai sahabat manakala "menyenangkan". Alih-alih menjelaskan "kebingungan" ini dan bersama-sama mencari solusi bersama, pihak otoritas sekolah lebih mudah melakukan pelarangan. Padahal seandainya berkenan mengajak peserta didik untuk berpikir bersama-sama, bagaimana mendayagunakannya untuk pembelajaran, bukan tidak mungkin akan diketemukan cara-cara yang tepat guna, untuk menempatkan gawai sebagai salah satu alat bantu belajar yang pokok.
Gawai yang dimiliki peserta didik harus dioptimalkan untuk pembelajaran. Optimasi penggunaan gawai itu penting karena pembelajaran akan menjadi lebih praktis. Mereka akan mudah mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk kegiatan pembelajaran. Proses yang tentu harus dilatihkan secara terus-menerus. Harapannya, peserta didik memiliki kemampuan untuk secara sadar menggunakan gawai yang dimiliki. Yakni untuk memilih informasi mana yang memang bermanfaat bagi kehidupan keseharian.
Tentu tantangan berat bagi orang tua maupun lembaga pendidikan memberikan konter yang efektif terhadap infomasi negatif yang menyebar melalui internet. Perlu upaya menyeluruh, baik secara struktural maupun kultural. Tujuannya, peserta didik tidak terjebak pengaruh yang disebabkan informasi-informasi negatif seperti radikalisme, aksi kekerasan, maupun pornografi.
Dalam hal penggunaan gawai yang berlebihan, seringkali permasalahan tidak terdapat pada anak. Ada keteladanan yang kurang dari orang tua, guru, maupun orang dewasa di sekitar anak. Sering kali tanpa sadar orang dewasa memberikan contoh yang tidak baik. Kebiasaan diskusi dan berbagi saat berkumpul bersama semakin hilang karena tiap pihak asyik dengan gawai masing-masing.
Kerja sama yang baik antara orang tua dan pihak sekolah harus terus dijalin dalam proses pendidikan peserta didik. Termasuk pemberian pemahaman soal penggunaan gawai yang efektif. Orang tua tentu saja menjadi komponen yang penting dalam keberhasilan pendidikan anak. Ruang dialogis antara sekolah dan orang tua harus dijalin erat. Tanpa hal tersebut, proses pendidikan tak akan efektif. Kedua pihak harus mampu meyakinkan anak soal penggunaan gawai yang sesuai dengan kebutuhan keseharian. Melalui hubungan yang erat, sekolah akan merasa didukung penuh untuk melaksanakan setiap kebijakan yang bertujuan mendidik dan mencerdaskan peserta didik.
Penutup
Terlepas dari semua kelebihannya, gawai hanyalah sebuah alat. Secanggih apa pun suatu alat, itu hanyalah robot kecil yang diciptakan untuk bisa dikendalikan manusia sehingga kita harus memperhatikan aspek penggunaannya terutama di kalangan siswa. Gurulah yang paling berperan untuk mendidik siswa. Melalui guru, gawai bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai salah satu media pembelajaran yang efektif. Dengan menggunakan gawai diharapkan dapat memudahkan dan mengasyikkan ketika proses belajar mengajar berlangsung, baik di kelas maupun di luar kelas, bukan malah membuat siswa menjadi orang yang individualis, malas, dan kurang kreatif.
Di tengah banjirnya informasi, terutama dengan begitu mudahnya mencari referensi via mesin pencari kata, sekolah seyogyanya lebih mengarahkan siswanya untuk menjadi pembelajar mandiri yang kreatif, analitis, dan pemecah masalah. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan gawai secara bijaksana, bukan malah menyingkirkannya. Dengan memanfaatkan gawai secara arif, kita menginginkan peserta didik kita menjadi pandai. Jika mereka pandai, tentu masa depan bangsa ini lebih terjamin. Kalau bukan mereka, siapa lagi harapan kita.
Daftar Pustaka
Cynthia, Rahmadianti. 2015. "18 Kata dalam Bahasa Indonesia yang Membuktikan bahwa Bahasa Kita Sebenarnya Kaya" dalam Hipwee.com. Diakses pada 10 Oktober 2016.
http://kuroyuki97.blogspot.co.id. 2013. "Teknologi dalam Pendidikan: Peranan Gadget untuk Pendidikan". Diakses pada 9 Oktober 2016.
Kusuma, Yuliandi dan D. Ardhy Artanto. 2011. Internet untuk Anak Tercinta. Jakarta : PT Gramedia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penyusun Aplikasi KBBI Edisi Kelima. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima Luring (Luar Jaringan). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta: Aplikasi Luar Jaringan (luring).
Septy Andari Putri, S.Pd., M.Pd., Guru MTs Negeri 3 Kulonprogo dan Bendahara Umum Pergumapi. Tulisan ini disiarkan pertama di Majalah WUNY edisi September 2017.
Thanks for reading Pandai melalui Gawai | Tags: Artikel Esai
Next Article
« Prev Post
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Next Post »
0 komentar on Pandai melalui Gawai
Posting Komentar